Rabu, 13 Januari 2010

Kota Gerimis

Singgahlah ke kota kami, kau akan menemukan monumen tinggi menjulang di tengah-tengah kota sebagai lambang kejayaan dan kemajuan. Kau juga akan menyaksikan bagaimana kota kami menggeliat; bangunan-bangunan bertumbuhan di segala penjuru bagai kecambah disiram air. Kota kami juga mempunyai laut dengan pantai yang indah. Dan di sanalah kami selalu berkumpul saban senja, berbincang tentang rencana akhir pekan sembari menunggu warna merah langit menjadi jingga. Kapan saja, kau boleh bertandang ke kota kami, lalu bergabung bersama kami menikmati senja di pantai itu.

Ya, kau boleh datang kapan saja, tanpa perlu memperhitungkan musim atau cuaca, sebab musim dan cuaca di kota kami selalu sama. Selalu nikmat dan bersahabat. Kau tak perlu repot-repot membawa payung atau mentel hujan atau tablet obat demam. Di samping tak akan berguna kau juga hanya akan menjadi bahan tertawaan orang. Kau tahu, kota kami tak mengenal hujan, entah sejak kapan. Kau hanya bisa menyaksikan rinai air tipis yang turun dari langit. Siapa pun tahu, itulah gerimis. Maka, jika ada salah seorang penyair di kota kami yang memasukkan kata “hujan” dalam puisinya, semua yang membaca atau mendengar puisi itu pastilah akan tertawa, dan sangat mungkin banyak orang akan meledak amarahnya. Betapa tidak? Hujan, ah kami rasa kata itu sangat menakutkan. Dan karenanya, kami tak sudi mengenalnya meski hanya sekedar kata.

Kami sering tertawa, ketika melihat berita televisi atau membaca surat kabar dan mendapati kota-kota tetangga ditenggelamkan hujan. Tapi kadang, kami juga berbela sungkawa. Sembari mengelus dada kami kemudian mengganti chanel ke acara hiburan. Ketika mendapati berita itu di koran, kami langsung membalik halaman-lebih baik membaca iklan, pikir kami.

Betapa kami bangga dengan kota ini. Kota tanpa hujan. Kota gerimis. Indahnya, ketika gerismis berderai tipis pada siang yang cerah dan pelangi membentang tiba-tiba di cakrawala. Pelangi yang serupa selendang bidadari. Dan memang kami percaya, pelangi itu adalah selendang bidadari yang menjaga ketentraman dan menjauhkan kota kami dari bencana-dari hujan tepatnya. (Sungguh, kami begitu takut dengan hujan yang serupa kutukan). Maka, sebagai penghormatan warga pada bidadari penjaga kota, saban selendang itu membentang di cakrawala, akan ada sirine berbunyi, tanda bagi semua warga untuk bersama-sama menyaksikan indahnya selendang itu.

Cukup hanya melihat, dan itu bukanlah pekerjaan yang berat-tak seberapa dibanding kenikmatan yang kami dapat. Kami bisa menyaksikannya lewat kaca jendela atau hanya melalui siaran televisi. Kami melakukan kebiasaan ini-sebagian orang menganggap ritual kewajiban-dengan kesadaran sepenuh hati, bukan atas paksaan Pimpinan Kota, bukan pula karena rasa takut. Kami melakukannya dengan cinta. Ya, kau tentu tahu, cinta tak mengenal “sebab” dan “karena”, melainkan “meskipun”, dan “entahlah”. Cinta lebih dekat pada pengertian memberi ketimbang berharap. Ah, kami terlanjur mencintai selendang bidadari, sehingga tak punya alasan kenapa kami merasa wajib memandangnya setiap kali gerimis berderai di siang cerah dan ia membentang begitu saja.

Entah sudah berapa wartawan meliput kota kami untuk dijadikan berita di surat kabar, majalah, dan media elektronik. Mereka sering menyebut kota kami dengan kota gerimis. Dari berita-berita itulah kemudian kota kami dikenal ke seluruh penjuru dunia. Hal yang wajar bila kemudian, para pelancong berduyun-duyun mengunjungi kota kami. Jika para pelancong kebetulan memergoki selendang bidadari yang terbentang di siang hari maka tak jarang setelah mereka kembali ke tanah asal mereka akan memperoleh keberuntungan: rejeki mereka akan bertambah dari biasanya. Ajaib! Mereka pulang tak hanya membawa cerita dan cindera mata, tetapi juga berkah yang indah.

Banyak pula akhirnya para saudagar kaya, mendirikan pabrik dan menanamkan modalnya di kota kami. Betapa sangat menjanjikan menanamkan modal di kota kami, yang warganya kaya-kaya dan maniak belanja. “Dengan senang hati, silahkan!” Kami tak pernah melarang siapa pun tinggal dan menanam modal di kota ini, asal mereka mau membayar mahal harga tanah kami yang masih kosong, atau menyewa rumah-rumah kami yang sudah jadi dan tak dihuni.

Bagaimana, kau berencana datang? Tunggu apa lagi, berkemaslah saat ini juga!

Tetapi ingat, bagi siapa saja yang singgah di kota kami, mestilah dengan kesadaran dan kerendahan hati mau mengikuti kebiasaan yang sudah kami lakukan bertahun-tahun itu, kebiasaan yang begitu ringan dikerjakan; hanya menatap pelangi, ya menatap saja saban ia membentang di cakrawala. Barang sekelebat mata, tak apa.
Mungkin kau mengira kami mengada-ada. Mhh, bukan hanya kau, tentu. Banyak di antara para pendatang yang heran menyaksikan sungai-sungai di kota kami yang nyaris mati. Mereka, para pelancong itu, merasa cemas dan takut jika hujan lebat turun tiba-tiba. Hah, mereka, masih saja tak percaya, bahwa kota kami tak mengenal hujan, hanya gerimis. Adakah gerimis sanggup menciptakan banjir, Kawan? Bukankah gerimis hanya akan menciptakan keindahan dan kesejukan? Eh, mereka malah menerangkan teori terciptanya hujan. Camkan, teori itu tak berlaku di kota ini!

Kau masih tak percaya dengan apa yang sudah kami utarakan. “Datang dan buktikanlah!” Begitu bunyi sebuah berita yang sempat tesiar di teve.

****
Suatu ketika kami kedatangan ribuan tamu dari kota tetangga. Mereka datang hendak mengungsi di kota kami akibat kota mereka ditenggelamkan hujan. Uh, lagi-lagi berita sedih yang sama, hujan selalu berujung bencana. Tetapi kami adalah manusia juga, yang mempunyai perikemanusiaan, tentu tak segan-segan membantu mereka. Dengan syarat mereka mesti segera kembali ke kota asal setelah air di kota mereka surut. Mereka kami kumpulkan di sepuluh alun-alun yang tersebar di kota ini. Kami membuatkan mereka tenda dan ada beberapa gelintir dari kami yang membantu mereka mencari sumbangan, sebagian lagi membuat proposal-proposal gadungan.
Seminggu kemudian, kami tahu, air di kota mereka telah surut. Hujan telah reda, dan kami lega. Semestinya mereka segera berkemas dan pulang untuk membersikan kotanya yang penuh lumpur dan menempatinya lagi. Tetapi, ya kau benar, mereka merasa betah tinggal di kota ini. Dan kami sangat maklum. Malahan, sebagian penungsi itu telah berpencar mencari penghidupan di kota ini sendiri-sendiri. Sebagian lagi pulang, tetapi dengan tujuan menjual tanah dan rumah untuk kemudian pindah ke kota kami. Ada yang bergabung bersama pemulung, menjadi pembantu di gedung-gedung, mengemis di jalan-jalan, sebagian lagi menyewa pertokoan, mengamen di terminal, dan entah apa lagi. Biarlah, toh semua dibutuhkan buat menjaga keseimbangan kehidupan.

Begitulah, kehidupan mengalir tenang di kota kami, sampai beberapa purnama ke depan. Sampai kami dicekam gelisah akibat pelangi yang menjaga kota kami tak pernah muncul lagi. Gerimis dan surur-sulur cahaya matahari entah kenapa tak menimbulkan efek apa-apa. Ketika gerimis berderai kami sering memandangnya dengan gelisah dari kaca jendela dan menunggu sirine melengking. Tetapi sampai gerimis reda, pelangi tak kunjung muncul juga. Sungguh, kami tak mengerti dengan keadaan macam ini. Berbulan-bulan, bertahun-tahun tak pernah kami lihat selendang bidadari itu. Kami begitu rindu selendang itu. Kami begitu mencemaskan cinta kami: pelangi.
Mungkin mata kami telah rusak akibat gemerlapan lampu-lampu. Atau, ah barangkali ada di antara kami yang berkhianat, tidak ikut memandangi pelangi itu. Adakah orang bertelinga tuli dan tak mendengar lagi sirine berbunyi? Atau, orang memang telah memandang, tetapi bukan dengan cinta, melainkan ketakutan, paksaan? Entahlah.
Betapa kami panik ketika suatu hari mendapati mendung tebal menggumpal di langit siang. Menatapnya, kami teringat sawah-sawah kami yang kini telah berubah menjadi gedung-gedung megah, kami juga teringat dua bukit di sudut kota yang kini menyisa beberapa batang pohon saja. Juga yang begitu menyedak dada, mengingat sungai-sungai di kota ini yang sesak oleh sampah. Ah!

Ketika geludug menggelegar-betapa mengerikan suara itu-seketika kami teringat para pengungsi yang telah menetap di kota ini. Ya, pastilah mereka yang tidak mematuhi peraturan kota ini. Secepatnya mereka mesti segera di usir.

Tetapi bagaimana cara kami mengusir mereka? Kami juga teringat para pendatang yang telah menguasai perekonomian kota ini. Kami tak bisa lagi membedakan penduduk asli dengan pendatang. Oh, alangkah malang jika hujan benar-benar datang. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar